Baru-baru ini diperingati 50 tahun 'lepasnya' Papua Barat, dari Belanda ke Indonesia. Wilayah paling timur Nusantara itu adalah koloni terakhir Belanda. Presiden RI pertama Sukarno sangat ngotot ingin merebut wilayah itu dari penjajah.
Menarik mengamati temuan dalam pekan peringatan 50 tahun lepasnya Papua Barat dari persepsi Belanda. Televisi Belanda mengangkat kembali pengalaman orang-orang yang terlibat langsung dalam perang yang berakhir tahun 1962 itu.
Seorang serdadu Belanda yang ketika itu masih 19 tahun dan mengalami dari dekat kejadian itu. Dia menangis sambil menuturkan pengalamannya. Lalu sepasang suami istri asal Papua yang sudah 50 tahun terdampar di Belanda.Sejak berangkat ke Belanda untuk kuliah, mereka tidak bisa lagi kembali ke tanah airnya. Keduanya mengikuti terus perkembangan di Papua Barat. Di depan kamera si istri mengatakan bahwa "Indonesia merebut Papua bukan demi rakyat di sana, tetapi murni untuk kepentingan ekonomi belaka."
Lihat siaran:
Lebih menarik lagi dalam liputan di televisi Een Vandaag itu adalah wawancara dengan Matthijs Ooms, seorang perwira tentara dan juga ilmuwan. Ia melakukan penyelidikan mendalam tentang:
- keterlibatan Pasukan Beruang Merah USSR membantu Indonesia merebut Papua Barat dari tangan Belanda. Ia mendasarkan pada pengakuan berbagai pihak. Baik politik Belanda maupun para perwira Uni Sovyet sendiri.
- perang di Papua itu merupakan puncak dari Perang Dingin antara Komunis-Sosialis Timur lawan Kapitalis Barat. Karena tidak lama setelah itu terjadi ketegangan pula di Teluk Babi Kuba.
- kapal perang Belanda di perairan Papua lolos dari lobang jarum, sebab kapal selam Uni Sovjet sudah bersiap untuk melepaskan beberaa pucuk torpedo.
"... genaamd operatie Djajawidjaja2 en zou daarbij gesteund worden door de Sovjet-Unie met ‘zes onderzeeboten, een dertigtal Toepolev-bommenwerpers en twee- tot drieduizend man personeel’."
".. operasi yang dinamai Jayawijaya dan didukung Uni Sovyet yang mengerahkan 'enam kapal selam, 30 pesawat pembom jenis Toepoelev dan dua- sampai tiga ribu personil."
Dit gebeurde heimelijk: de Russische onderzeebootbemanningen kregen Indonesische uniformen en identiteitspapieren waaruit moest blijken dat ze vrijwilligers waren in Indonesische dienst. Vijf van de zes onderzeeboten kregen het bevel elk vijandelijk schip te torpederen: ‘marineschepen, koopvaardijschepen, zelfs passagiersschepen, onder welke vlag dan ook’.
Artinya: Ini terjadi secara diam-diam: para awak kapal selam Rusia mendapat seragam dan kartu tanda pengenal Indonesia yang menunjukkan bahwa mereka sukarelawan yang mengabdi untuk Indonesia. Lima dari enam kapal selam diperintahkan mentorpedo: 'kapal marinir, kapal dagang, bahkan kapal penumpang, dengan bendera manapun juga.'
Serbalanda sebagai orang awam jadi bertanya-tanya, kalau penelitian ini benar apakah peristiwa 30 September 1965, tiga tahun setelah kekalahan pihak kapitasi Barat di Nusantara. Apakah itu bisa dipandang sebagai 'balas dendam' barat terhadap ulah Sukarno merangkul Komunis?
0 Tanggapan:
Posting Komentar