Perda Sampah yang dikeluarkan Gubernur Jakarta, Joko Widodo dalam upaya menjadikan ibukota bebas sampah tampaknya akan gagal. Permasalahan sampah bukan perkara membuang kotoran ke tempatnya. Ini masalah kepercayaan dan evolusi.
Ancaman denda Rp. 500 ribu untuk masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan Rp. 50 juta untuk perusahaan, tidak akan tepat sasaran. Apalagi sampai dipenjara tiga bulan. Penerapannya akan menghadapi berbagai rintangan:
- Jenis sampah apa saja yang akan dikenakan denda?
- Berapa besar ukuran sampah dan besar dendanya?
- Apakah denda yang dibayarkan akan masuk kas pemerintah atau ditilep petugas?
Persoalan utama pada masyarakat Indonesia adalah kepercayaan pada pemerintah dan juga kemampuan menyadari evolusi yang terlalu cepat. Kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan pemimpin sudah sangat menipis, perda yang terkesan baik itu bisa diartikan sebagai 'pencitraan' jelang pemilu. Kepercayaan sudah sangat tercederai karena Serbalanda melihat masyarakat sudah kebal dan kesal dengan tindak korupsi yang merajalela.
Menyakitkan
Di samping itu hambatan lain adalah kesadaran. Menarik menyampaikan ungkapan seorang asing kepada Serbalanda setahun lalu. Argumen orang ini menyakitkan Serbalanda, sebagai orang Indonesia. Walaupun terkesan menghina, tapi perlu diresapi.
Pria ini mengatakan bahwa, sebenarnya masyarakat Indonesia belum mampu mengikuti perkembangan teknologi.
"Bangsamu menjadi bagian dari penikmat. Bukan produsen dalam era industri ini. Jutaan kendaraan bermotor yang memadati jalanan Indonesia, tidak ada satupun yang buatan Indonesia."
Sempat Serbalanda menangkis dengan bukti "Esemka" mobil listrik buatan Indonesia yang dipromokan Pak Dahlan Iskan. Tapi argumen itu tidak tahan lama karena sudah keburu kecelakaan.
Kembali ke soal sampah ini, pria bule ini juga kritis. Dia sebenarnya tidak sepenuhnya menyalahkan orang Indonesia. Dia menduga bahwa daya nalar orang Indonesia masih tertinggal 50 tahun. "Walaupun sedang memegang bungkus makanan berbahan plastik, tapi otak masih mengira bungkus itu daun Pisang atau Jati," sembari menyambung:
"Badan orang Indonesia sudah berada di tahun 2012 tapi otaknya masih di tahun 1960. Dia mengira bahwa bungkus yang dia lempar ke tanah itu akan terurai dan menjadi pupuk."Dengan kepala panas mencapai suhu di terik Sahara, Serbalanda tetap menahan diri. Walau pun hati ingin menghajar pria gila itu. Sesampainya di rumah dan otak mulai adem lagi, merenung memikirkan evolusi itu.
Diskusi itu sebenarnya sudah terlupakan, tapi muncul kembali setelah adanya Perda Sampah di DKI ini. Menurut Serbalanda, mengatasi problim sampah sebaiknya dilakukan lewat pendidikan. Sosialisasi menyadarkan warga Indonesia bahwa plastik itu berbeda dengan daun. Plastik tidak bisa terurai oleh alam dan menjadi pupuk.
Pendidikan
Dana untuk pendidikan bisa diambil dari uang rampasan program pemiskinan koruptor dan dari para pengemplang pajak. Sementara itu untuk SDM (Sumber Daya Manusia) pembersih sampah di jalanan, di selokan dan di sungai, mengerahkan para koruptor dari penjara. Daripada diam terus di bui, akan lebih baik jika mereka bergerak membersihkan sampah, itung-itung olah raga.
Kita perlu mengejar efek jera, dengan memaksa para koruptor jadi tontonan masyarakat ketika membersihkan sampah dan menguras got-got.
Serbalanda melihat ini sebagai pemecahan multi dimensional dan serempak. Mungkin bukan pepatah "Berantas Bandit dengan Bandit" yang dipakai. Tetapi slogan: "Bersihkan Sampah dengan Sampah."
0 Tanggapan:
Posting Komentar