Jangan Bawa Benda iki Pulang Kampung
Sebagian besar kita akan menjalani hari-hari sekitar Idul Fitri di kampung halaman. Momentum berada di tempat yang menyimpan kenangan indah masa kecil, jangan sampai dicemari kebiasaan buruk dari kota!
Bukan saja yang menimpa diri Anda saja.. tetapi sudah menimpa anak-anak kita. Mereka sudah kecanduan berat dengan games di tablets. Bermula dari pembiaraan anak bisa anteng main sendirian. Sampai akhirnya sekarang anak menikmati tablets sampai sudah sulit dihentikan. Mata mereka mulai rabun dan konsentrasi mulai buyar.
Belakangan ini penulis mengamati di tempat-tempat wisata yang indah seperti di Giethoorn. Anak-anak kecil sudah tidak tertarik lagi dengan pemandangan indah yang ditawarkan sekeliling, mereka duduk di perahu dengan kepala tunduk ke bawah dan tangan memegang smat-phone.
Kok ini anak-anak sudah tidak tertarik pada lingkungan. Penulis tidak menuduh semua anak remaja melakukan itu. Masih ada juga yang waras, mau bersosialisasi dan berkomunikasi dengan sesama manusia. Tapi jumlah yang doyan peranti moderen itu makin hari makin meningkat.
Dahulu di SMA Negeri I Cianjur, penulis punya kawan yang memiiki kebiasaan aneh. Dia mengucilkan diri dan tidak terlalu bisa bergaul dengan rekan-rekan di kelasnya. Hobbynya aneh, saat istirahat dia senang menyendiri dan mendatangi pohon di pekarangan sekolah SMA Cianjur yang luas itu, satu per satu. Pemandangan itu aneh bagi mayoritas kami anak-anak di sekolah. Teman ini sering menyendiri dan berbicara dengan pohon. Dia terkucilkan karena ‘nyeleneh’.
Nah fakta sekarang ini hampir sama dengan teman di zaman SMA itu. Anak-anak banyak yang menyendiri, secara lahirian berkumpul tapi secara mental menyendiri. Dan mereka berkomunikasi tidak dengan pohon tetapi dengansmart phone atau tablets. Kalau dahulu teman SMA ini melakukan sendirian bicara dengan pohon. Sekarang mayoritas yang bicara dengan ‘pohon.’
Nah kalau sekarang ini bahayanya, sebagian besar berbicara dengan benda dan yang ingin bersosialisasi hanya beberapa orang saja, minoritas. Eka Tanjung sudah bisa membayangkan saja bahwa nanti kakek-nenek di kampung menjadi kebingungan ketika disuguhi pemandangan baru pada cucu-cucu mereka.
Kakek ingin berbincang dengan cucuknya, tetapi yang diajak ngobrol pikirannya malah ngelantur, sedang berada di dunia lain. Ketika belum ada smart-phone yang penuh dengan mainan saja, kita merasa boring ngobrol dengan kakek-kakek, apalagi sekarang dengan tawaran yang lebih bagus. Akhirnya kakek merasa kecewa dan cucunya merasa terganggu oleh kakek yang kolot. Kakeknya akan mengeluhkan kekesalannya kepada anaknya, ayah atau ibu si anak. Ketika itulah peran krusial kita dipertaruhkan.
- Merebut tablet dari si anak, dan menyuruhnya untuk mendengar cerita kakek yang diulang-ulang dan membosankan?
- Membiarkan anak tetap main dan meminta maaf pada si kakek akan kebiasaan baru anak-anak sekarang?
- Menyalahkan si kakek yang kuno dan ketinggalan zaman?
- Atau mempersembahkan satu tablet kepada sang kakek supaya ikutan terjerumus dalam dunia maya?
Apapun pilihannya adalah keputusan yang berat, kalau harus diambil saat itu. Pasti ada yang dikecewakan. Penulis punya saran yang mungkin masih bisa dilakukan mumpung belum menjadi bubur, nasinya.
Dengan kesepakatan yang berani itu, maka akan muncul sebuah situasi liburan yang menyenangkan. Lebih hidup dan lebih ‘gayeng’ seperti waktu kita kecil dahulu. Kita sebagai orang tua akan dipaksa mengingat kembali dan mengulang kembali kejadian indah masa lalu.
Main petak umpet, mencari jangrik, menggembala kambing, berlari ke bukit, mencari ikan memancing di sungai, bercanda ria dll. Penulis membayangkan hari-hari kebersamaan di kampung kakek itu, akan melekat erat di benak dan hati anak-anak. Kenangan indah itu tidak akan pernah hilang dari ingatan anak-anak. Mereka akan teringat keindahan kampung halaman kita, seperti kita mengenang tempat itu dahulu.
Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin